Dalam Kompas edisi 7
Oktober 2010 ada tulisan Gita Wirjawan, Kepala Badan Koordinasi Penanaman
Modal, berjudul ”Nasionalisme Ekonomi”.
Patut
dihargai bahwa pada masa kini, ketika ekonomi nasional diarahkan pada sistem
pasar bebas, ada pejabat pemerintah yang menulis terbuka tentang nasionalisme
ekonomi. Namun, dalam uraian Gita ada yang perlu ditanggapi agar maksud baik
menyelenggarakan nasionalisme ekonomi tak justru membawa masalah bagi bangsa
Indonesia.
Sebaiknya
dalam menerapkan nasionalisme ekonomi, kita cari bahan perbandingan pada
praktik Jepang dan China yang dulu dan sekarang ekonominya bergelora. Bukan
semata-mata berorientasi kepada Amerika Serikat dan negara Barat lainnya.
Gita
menganggap kurang tepat besarnya fokus pada struktur kepemilikan ketika
melakukan investasi asing. Alasannya, banyak sektor penting bersifat padat
modal, padahal dana Indonesia amat terbatas. Dengan kata lain, Gita tak
keberatan bahwa kepemilikan itu di tangan asing asal bersedia menanamkan modal
besar demi memajukan sektor itu. Kalau pendapat Gita dilaksanakan, banyak
sektor penting di Indonesia dimiliki asing. Ekonomi Indonesia mungkin maju,
tetapi dikuasai asing. Indonesia tak lagi merdeka dan itu tak mungkin diterima
bangsa Indonesia yang tak mau dijajah bangsa lain.
Itu
sebabnya, persoalan ini tak mungkin dihadapi dengan konsep pasar, tetapi
diperlukan peran pemerintah yang aktif dan tegas. Meski bukan negara sosialis
dan malah sekutu setia Amerika Serikat, Jepang efektif mengurus ekonomi di
bawah pengendalian pemerintah melalui administrative guidance. Tak jarang hal
ini membikin AS marah.
Atur BUMN dan swasta
Untuk
mengatur investasi asing, pemerintah wajib menentukan sektor mana yang
kepemilikannya tak boleh di tangan asing. Atas dasar itu, pemerintah mengatur
BUMN dan swasta agar kepemilikan Indonesia terjamin dan mengusahakan dana untuk
menjamin kepemilikan. Karena dana itu sukar diperoleh, memang diperlukan usaha
pemerintah menentukan prioritas sektor: mulai dari yang tertinggi dan mutlak
dimiliki Indonesia sampai terendah.
Pada
sektor penting lain yang bukan prioritas utama, diusahakan usaha patungan yang
memungkinkan partisipasi asing. Sesuai dengan derajat prioritas sektor itu,
peran asing dimungkinkan dominan kalau derajat prioritas rendah. Namun, pemerintah
harus saksama mengawasi bahwa peran asing itu betul bermanfaat bagi Indonesia.
Pemerintah
menentukan bahwa hasil produksi perusahaan yang punya peran asing harus
diekspor dan tak boleh dipasarkan di dalam negeri. Kemudian pemerintah
membangun perusahaan lain yang beroperasi dalam bidang sama dengan teknologi
yang digunakan dalam patungan itu. Pemerintah menjaga agar pasar dalam negeri
sepenuhnya dikuasai Indonesia.
Praktik
demikian dilakukan China hingga dapat memanfaatkan modal dan teknologi asing untuk
kepentingannya sekaligus meningkatkan ekspornya.
Jelas
sekali, selalu diusahakan agar kepentingan negara dan bangsa sendiri menjadi
ukuran. Dulu Jepang selalu didesak AS membuka pasar berasnya agar beras AS
dapat dipasarkan di Jepang dengan alasan lebih murah. Namun, Pemerintah Jepang
selalu menolak desakan AS itu karena tak mau mengorbankan petaninya sebagai
unsur tak terpisahkan masyarakat Jepang. Juga desakan AS agar Jepang
”memodernisasi” perdagangan dalam negerinya—dalam arti dibuka secara bebas—tak
pernah dilayani.
Nasionalisme
ekonomi yang membawa kemajuan negara dan bangsa memang tak menutup pintu bagi
masuknya peran asing, bahkan dalam pemilikan perusahaan yang rendah derajat
prioritasnya. Namun, nasionalisme ekonomi memerlukan peran pemerintah berlandaskan
semangat kebangsaan kuat dan membawa bangsanya maju sejahtera.
Praktik Indonesia Inc
Pemerintah
perlu mengusahakan terwujudnya semangat dan praktik Indonesia Incorporated yang
meliputi seluruh dunia usaha, masyarakat, BUMN, dan swasta untuk selalu
mencapai kemajuan. Yang paling tak masuk akal, sikap yang—dengan alasan
globalisasi—menganggap wajar: dunia usaha Indonesia dikuasai pihak terkuat,
termasuk asing.
Ini
dapat dilihat dari sikap yang memungkinkan Indosat dikuasai asing dan sekarang
membuka kepemilikan asing atas Bandara Soekarno-Hatta, bandara utama Indonesia
dengan nama proklamator kemerdekaan. Satu pengkhianatan atas perjuangan
kemerdekaan bangsa Indonesia!
Tanpa
semangat kebangsaan yang kuat pada masyarakat dan Pemerintah Indonesia, mustahil
ada nasionalisme ekonomi yang bermanfaat bagi bangsa. Ketika orang Jepang yang
memimpin perusahaan swasta besar dan kuat seperti Mitsubishi ditanya mengapa
mau tunduk mengikuti administrative guidance, jawaban mereka: orang-orang yang
duduk di pemerintah, khususnya MITI, adalah patriot kebangsaan yang pandai.
Pengaturan yang mereka lakukan pasti untuk kepentingan rakyat dan bangsa
Jepang! Semangat itulah yang membuat ekonomi Jepang maju pada 1970-an. Hal
serupa kini terjadi di China!
Tantangannya,
apakah Indonesia yang merebut kemerdekaan dengan perjuangan masih punya
semangat kebangsaan yang sanggup berjuang demi kemajuan dan kesejahteraan
bangsa.
Sayidiman
Suryohadiprojo
0 comments:
Post a Comment