Dalam sebuah kuliah
umum bisnis internasional pada 2008, saat ditanya apa rahasia keberhasilan
Google, CEO dari perusahaan penyedia informasi terbesar situs dunia maya ini
menyatakan, “Apabila saya tidak memperlakukan pekerja kami dengan respek dan
melibatkan mereka dalam pengambilan kebijakan maka mereka akan turun ke jalan,
mengabarkan perlawanan dan berita menarik kepada publik sekaligus menyodorkan
masalah besar yang akan sulit kami antisipasi."
Pernyataan di atas
adalah kunci dari keberhasilan kepemimpinan di abad ke-21, bukan saja kunci
kepemimpinan di dunia usaha, tapi juga password bagi kepemimpinan di dunia
politik.
Partisipasi,
kolaborasi antaraktor, dan keterlibatan para kader dalam pengambilan setiap
kebijakan menjadi tantangan bagi setiap parpol untuk beradaptasi dengan proses
keterbukaan yang semakin meluas dalam proses demokrasi di Indonesia.
Sebaliknya, klik elitisme partai, hierarki kepemimpinan, dan penempatan kader
hanya sebagai instrumen politik elite menjadi tanda bagi senjakala riwayat
partai dan kepemimpinan politiknya.
Kebutuhan
penyegaran partai politik di dalam parpol sepertinya menjadi tantangan bagi
seluruh partai politik di Indonesia. Setelah Pilpres 2014 usai tiga bulan yang
lalu, pandangan kita terhadap dinamika politik masih tertumpu pada ketegangan
antara kekuatan pemerintah dan oposisi.
Dalam hiruk-pikuk
politik terkini, kita melupakan bahwa dinamika politik yang sehat dalam proses
demokrasi di Indonesia tak terlepas dari performa partai politik sebagai tulang
punggung demokrasi di Indonesia. Apabila kita tarik akar persoalannya, untuk
menuju perubahan politik yang lebih baik, demokratisasi partai adalah sebuah
kebutuhan sejarah.
Apabila memandang
sekilas jejak langkah dari partai-partai politik, mereka memiliki persoalan
besar terkait dengan problem demokratisasi partai, terutama sehubungan dengan
problem rekrutmen kepemimpinan dan keterlibatan kader dalam pengambilan
kebijakan. Partai-partai papan atas hasil Pileg 2014, seperti PDIP, Partai
Golkar, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat masih terjebak dalam problem
stagnasi kepemimpinan ketika hasrat untuk memimpin partai dalam jangka waktu
lama dari para pemimpin puncak telah menghalangi terbukanya katup-katup regenerasi
kepemimpinan partai politik.
Dengan melembagakan
regenerasi kepemimpinan politik, secara bertahap partai akan dapat memecahkan
tantangan kelembaman birokratisasi partai sekaligus menghindari problem partai
politik pascaotoritarianisme, seperti politik dinasti dan nepotisme.
Sehubungan dengan
pentingnya penyegaran kepemimpinan politik, seperti diuraikan oleh Joseph S Nye
(2008) dalam The Powers to Lead. Menurut Nye, pada abad ke-21 penggambaran
kepemimpinan politik adalah pemimpin yang berada di pusat dari sebuah
lingkaran, bukan figur yang memimpin secara top down dalam hierarki
sentralistis.
Problem
kepemimpinan yang hierarkis sentralistis salah satunya berakar pada tidak
berjalannya proses regenerasi kepemimpinan di internal parpol. Sebaliknya,
kepemimpinan yang setara, partisipatoris, dan demokratik hanya dapat dibangun
ketika proses regenerasi kepemimpinan partai berjalan baik dengan tradisi
pergantian kepemimpinan yang damai dan terkelola. Hal ini mengingat bahwa
partai yang responsif dan adaptif terhadap tantangan demokratisasi adalah
partai yang berhasil melembagakan dinamika perubahan di internal partai
tersebut.
Terkait solusi
praktis terhadap kebutuhan penyegaran kepemimpinan partai politik di Indonesia
ada beberapa hal yang patut dipertimbangkan. Pertama, salah satu peran dari
partai politik adalah melakukan rekrutmen kepemimpinan. Partai memiliki peran
menyiapkan kader-kader terbaiknya menjadi kandidat pemimpin dalam
jabatan-jabatan publik.
Sehubungan dengan
tugas ini maka prinsip partisipatoris atau gotong-royong sudah saatnya
diperkenalkan dalam partai untuk memilih kandidat pemimpin. Dorongan
demokratisasi partai semestinya juga terkait dengan hadirnya inovasi
kelembagaan dari setiap partai politik untuk mengelola aspirasi dan kebutuhan konstituen
maupun masyarakat sipil.
Hal ini terkait
dengan peran fundamental dari keberadaan partai politik adalah memberikan
rujukan bagi social policy dalam kehidupan bernegara. Problemnya,
tawaran-tawaran kebijakan publik yang diberikan partai selama era Reformasi
terlihat lebih mengikuti logika kepentingan oligarki politik daripada logika
aspirasi warga negara dan konstituen.
Berhadapan dengan
problem kelembaman partai maka diperlukan solusi institutionalisasi kepartaian
agar partai tidak semakin terasing dari kehendak konstituennya. Salah satu
langkah yang patut dipertimbangkan adalah melembagakan kerja-kerja riset
intelektual dalam partai untuk memformulasi kebijakan yang akan ditawarkan
dalam proses-proses politik.
Hal ini sejalan
seperti diutarakan aktivis politik sekaligus intelektual dari Italia, yakni
Antonio Gramsci (1971) bahwa partai berkarakter demokratik adalah the new
prince (pangeran baru) yang bertugas melahirkan pengetahuan bagi pijakan aksi
politik baru yang lahir dari dinamika sosial gerak hidup masyarakatnya. Dengan
melembagakan tradisi riset di internal partai dalam perumusan kebijakan publik,
karakter kepemimpinan politik akan bergerak mendemokratisasikan diri dan
melibatkan kader partai maupun elemen masyarakat sipil yang lebih luas.
Di tengah arus
gelombang pasang desakan yang menghendaki perubahan politik yang lebih
demokratis, partai politik harus berbenah dan menyesuaikan diri dengan arus
besar tuntutan masyarakat. Apabila daya tolak terhadap gelombang pasang desakan
demokratisasi parpol lebih besar dari dorongan progresif untuk berbenah maka
partai akan semakin ditinggalkan publik dan hal itu pukulan telak bagi
kehidupan demokrasi kita ke depan.
Sumber: http://www.republika.co.id
0 comments:
Post a Comment