Tuesday, 3 March 2015

JAGA RUPIAH

Nilai tukar rupiah secara perlahan menunjukkan pelemahan. Kurs rupiah terhadap dolar AS pada Jumat pekan lalu dan Senin kemarin bahkan sempat menembus Rp 13 ribu per dolar AS.

Jika dilihat sejak Joko Widodo dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober 2014, nilai tukar rupiah saat ini merupakan yang terlemah. Bahkan, bila dirunut hingga krisis finansial global yang dipicu macetnya kredit hipotek di pasar Amerika Serikat, kondisi kurs rupiah sekarang tetap yang paling lemah.

Jokowi effect yang digadang-gadang saat kemenangan Jokowi dalam pertarungan Pilpres 2014, ternyata tidak signifikan mengerek perekonomian, khususnya dalam mendongkrak penguatan kurs rupiah terhadap dolar AS. Rupiah terus merosot.

Memang dalam kondisi saat ini, ada banyak faktor yang mendorong pelemahan rupiah. Menteri Keuangan Soemantri Brodjonegoro menyebut faktor sentimen negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Cina yang menyebabkan nilai tukar dolar AS menguat. Akibatnya, mata uang semua negara yang berkaitan dengan Cina, termasuk terhadap rupiah, terdampak.

Apakah ini alarm tanda bahaya bagi perekonomian Indonesia? Untuk menjawabnya sangat bergantung pada persepsi mana yang dipakai.

Dari kacamata importir, jelas pelemahan rupiah merupakan sinyal bahaya bagi mereka. Apalagi jika bisnis yang mereka geluti transaksinya menggunakan mata uang dolar AS tetapi dalam penjualannya memakai rupiah. Itu tentu akan memberatkan cash flow mereka.

Belum lagi jika mereka mempunyai utang di luar negeri dalam denominasi dolar AS. Akan berat terasa bila mereka mesti membayar cicilan utangnya itu dengan menggunakan dolar, padahal bidang usahanya dalam rupiah.

Namun, dalam pandangan eksportir, pelemahan rupiah ini memberikan “keuntungan” bagi mereka, apalagi bagi perusahaan yang bergerak di sektor komoditas dan mineral. Bila dilihat dari sudut pandang ini, menurut Wapres Jusuf Kalla, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Indonesia mengekspor berbagai produk pabrikan, seperti baju, tekstil, alat-alat listrik, dan lainnya.

Sebagai pemegang otorisasi moneter, Bank Indonesia tentu mempunyai andil besar dalam hal ini. BI harus menjaga ekspektasi dan psikologis pasar agar kondisi ini tidak dimaknai sebagai alarm tanda bahaya. BI harus terus berada di pasar menjaga agar fluktuasi yang terjadi tidak berdampak sistemis.

Akan tetapi, upaya dari sisi moneter saja tidak cukup. Diperlukan kerja sama dengan otoritas fiskal, dalam hal ini Kementerian Keuangan. 

Dan yang tidak kalah penting adalah peran Kementerian BUMN. Hal ini karena BUMN seperti Pertamina dan PLN berperan besar dalam “memasukkan” dolar AS ke dalam negeri terkait dengan aktivitas transaksi mereka. 

Pemerintah harus tegas dalam mengawasi apakah BUMN yang membutuhkan dolar dalam aktivitasnya sudah melakukan lindung nilai atau hedging. Perlu kiranya sanksi tegas bagi BUMN yang masih melanggar aturan ini, termasuk aturan pelarangan penggunaan dolar AS dalam setiap transaksi yang dilakukan di wilayah hukum Indonesia.

Menjaga rupiah tetap stabil, dengan sendirinya menjadi domain semua pihak, bukan BI semata atau pemerintah saja. Semua pemangku kepentingan mesti menjaga agar kondisi perekonomian nasional tetap kondusif.

Dengan dominannya faktor eksternal dalam pelemahan rupiah ini, jangan kemudian diperparah dengan tak stabilnya perpolitikan nasional. Investor tentu memantau betul dinamika ini. Mari kita sama-sama menjaga rupiah tetap stabil di kisaran yang wajar. 


Sumber: http://www.republika.co.id

0 comments:

Post a Comment